Creepypasta - The Real Part 3/4

The Real (part 3/4)
 Kondisi Tomohiko semakin memburuk dan Miss Akagi yang dibutuhkan ternyata tak kunjung dat Creepypasta - The Real part 3/4

Dikisah sebelumnya: Kondisi Tomohiko semakin memburuk dan Miss Akagi yang dibutuhkan ternyata tak kunjung datang. Tomohiko terpaksa mendapatkan pertolongan Ogawa dengan mendatangkan seorang paranormal berjulukan Hayashi untuk mengusir hantu tersebut. Namun Hayashi sendiri kewalahan dan hantu itu kembali menampakkan diri dengan wujud yang lebih mengerikan. Tomohiko kini putus asa.


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


         Empat hari berlalu semenjak upacara pengusiran setan yang gagal itu. Leherku mulai terlihat dan terasa lebih baik. Bekas itu masih ada, namun secara fisik saya merasa lebih baik. Demamku ini sidah turun dan saya tak punya banyak hal untuk kukeluhkan semenjak rasa sakit ini mulai berkurang.


         Namun kelainannya kini tidak pada tubuhku. Mentalku menurun secara drastis. Entah apakah itu siang atau malam, saya selalu khawatir bahwa hantu itu akan menampakkan diri lagi. Aku sulit tidur ketika malam dan saya bahkan tak berselera makan. Aku selalu menyelidiki apakah ada yang absurd di sekitarku. Aku tak punya waktu untuk merasa lelah ataupun lapar.


         Setelah sepuluh hari, saya memperhatikan bahwa wajahku mulai terlihat berbeda. Aku bahkan hampir tak mengenali wajahku sendiri di cermin. Kondisi mentalku yang melorot sangat terpancar dari wajah dan penampilanku. Aku benar-benar tak tahan lagi.


         Jelas, dalam kondisiku menyerupai ketika ini, saya sudah tak ingin lagi berurusan dengan "dunia normal". Orang tuaku menghubungi perusahaan dimana saya bekerja di Tokyo dan menyampaikan pada mereka bahwa saya berhenti. Saat mereka menelepon, saya melihat mereka menatapku dengan aneh. Entah, mungkin saja bosku murka mendengarnya dan mulai menyampaikan hal-hal yang tidak-tidak perihal kelakuanku di daerah kerja.


         Aku merasa takut dengan apapun., bahkan gerakan batang pohon persik yang ada di luar jendelaku, mengayun ke depan ke belakang, membuatku sangat ketakutan. Kapanpun saya melihat sesuatu di sudut mataku, saya selalu bertanya apakah gerakannya maju dan mundur? Masih dua ahad lagi sebelum Miss Akagi bisa menemuiku, dan saya mulai tak sabar. Itu sangat terlalu lama, apalagi dengan kondisiku yang takut setengah mati ini.


Suatu hari, orang tuaku secara mengejutkan membawaku keluar dan memaksaku masuk ke dalam mobil. Mereka hendak membawaku ke suatu tempat.


         "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." kata ayahku sepanjang perjalanan. Ibuku, yang duduk di bangku belakang bersamaku, memijat bahuku dengan lembut. Aku tak ingat kapan dia terakhir melakukannya, niscaya sudah bertahun-tahun yang lalu.


         Aku tak tahu berapa usang waktu yang berlalu, namun pada suatu titik matahari terbenam dan bulan mengambil alih tahtanya di langit, berpendar bersama bintang-bintang. Walaupun saya sudah berumur lebih dari 20 tahun, saya tertidur di pangkuan ibuku. Ini pertama kalinya saya sanggup tertidur nyentak sehabis berhari-hari.


         Ketika saya terbangun, matahari telah naik dan saya merasa segar. Orang tuaku menyampaikan bahwa satu setengah hari telah berlalu semenjak kami naik ke dalam kendaraan beroda empat ini. Aku mencicipi bahwa saya mungkin takkan pernah tertidur senyenyak menyerupai semalam. Aku menatap keluar dan tersadar, daerah ini tampaknya daerah ini tak asing bagiku.


         Sedikit demi sedikit, saya mulai mengingat daerah ini. Aku cukup yakin kami berada di Nagasaki sehabis saya melihat sebuah kereta api melintas, pemandangan yang biasa kulihat ketika saya kecil ketika diajak berkunjung ke rumah kakek nenekku. Aku cukup terkejut orang tuaku membawaku sejauh ini. Aku berasumsi bahwa tak mungkin membawaku naik kereta ataupun pesawat, sehingga mereka menentukan membawaku dengan mobil. Mereka mengaku bahwa mereka berhenti beberapa kali sepanjang jalan untuk beristirahat, namun tetap saja ayahku tak menerima tidur yang cukup. Ibuku tak ingin saya khawatir, lantaran itu dia tetap memangkuku tidur untuk membuatku tenang. Aku pikir saya takkan bisa membalas semua yang telah mereka lakukan selama dua hari terakhir ini.


         Kakek nenekku tinggal di wilayah yang berjulukan Yanagawa. Ketika kami tiba, kami berhenti di kaki sebuah bukit dan orang tuaku keluar dari kendaraan beroda empat untuk berbicara dengan kakek-nenekku sebelum mereka membawaku. Mereka tinggal di atas bukit itu dan engkau perlu menapaki anak tangga dari kerikil untuk mencapai rumah mereka.


         Orang tuaku hanya ingin menaruh beberapa barang bawaan kami dan menjemput kakek-nenekku sebelum kami pergi menemui Miss Akagi. Aku tahu kondisiku cukup jelek ketika orang tuaku menolah bantuanku untuk membawa barang bawaan kami. Namun tetap saja, berada jauh dari Tokyo dan Saitama, dimana saya mengalami semua pengalaman mengerikan itu, membuatku merasa santai.


         Ketika saya menunggu mereka di dalam mobil, saya hanya duduk menyilangkan kakiku dan menatap keluar. Tiba-tiba saja leherku kembali terasa sakit. Rasa sakitnya amat tajam di sepanjang bundar di leherku. Intensitasnya yang luar biasa menciptakan rasa sakit yang dulu kurasakan menyerupai gelitikan. Tanpa berpikir, tanganku segera meraba luka di leherku tersebut dan saya merasa shock ketika menyadari bahwa luka itu basah.


Ketika saya menarik jari-jariku, saya melihat mereka berlumuran darah.


         Melihat darah itu mengalir turun dan menetes dari jemariku membuatku tersadar bahwa kenyataan ini terjadi lagi. Tali yang seolah-olah mencekik leherku ini semakin erat dan mungkin, tak usang lagi semuanya akan berakhir. Air mataku mengalir di pipiku ketika saya menyadari bahwa saya tak lagi sanggup menghadapinya.


         Mungkin sulit bagi kalian untuk memahami apa yang kurasakan ketika itu, namun bayangkan bila semua hal jelek ini terus terjadi dan terjadi dalam hidupmu. Setiap kali saya merasa lebih baik, hal yang lebih jelek justru datang. Aku tersungkur dalam depresi lantaran saya tak bisa melihat ada jalan keluar dari semua ini. Fakta bahwa tiap kali saya mencoba memperbaiki keadaan, justru keadaan itu malah bertambah buruk, menciptakan jiwaku serasa remuk redam.


         "Apa gunanya semua ini! Biarkan saja saya mati!" saya mengigau di tengah tangisanku. Keputusasaanku kini justru bertambah semakin dalam, hanya beberapa detik sehabis tadi saya merasa harapanku terangkat oleh tindakan orang tuaku membawaku ke sini. Ketika orang tuaku kembali ke kendaraan beroda empat bersama kakek-nenekku, saya mulai panik. Aku duduk di bangku belakang dengan darah menetes dari leherku dan air mata mengalir di wajahku.


"Apa yang terjadi?"


"Katakan sesuatu, Nak?"


"A .. saya sudah tak berpengaruh lagi ..."


"Tomohiko, kumohon sadarlah!"


Semuanya berbicara bersamaan dan segalanya terasa terlalu berat bagiku. Aku mulai merasa murka dan balasannya saya meledak.


"TUTUP MULUT KALIAN! DIAAAAAM!!!"


         Apa yang harus saya katakan? Mereka tak bisa melaksanakan apapun untuk menolongku dan sudah terperinci bahwa saya juga tak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Berteriak tak takkan mengatasi dilema dan justru membuatku merasa lebih buruk. Aku tahu bahwa tak sepantasnya saya membentak orang-orang yang lebih bau tanah dariku, namun saya merasa sangat kacau ketika itu. Aku berhenti kerja dan orang tuaku hampir kehilangan banyak uang. Aku meringkuk di bangku dan mulai menyesal telah kehilangan kendali tadi. Aku telah menjadikan banyak dilema bagi orang-orang yang kucintai, namun mereka selalu saja berusaha sebaik mungkin untuk menolongku. Memikirkannya kini membuatku merasa malu dan saya pantas untuk mendapatkan apa yang terjadi setelahnya.


         Ayahku tak pernah menaikkan tangannya ke arahku seumur hidupnya. Namun di ketika ia menampar pipiku, rasanya sangatlah sakit. Dan rasa sakit itu membuatku melupakan rasa perih yang menyayat leherku. Aku sering bertengkar dengan ayahku, namun belum pernah sekalipun ia lepas kendali dan memukulku.


         "Minta maaf pada kakek dan nenekmu!" ia berkata dengan dingin. Entah bagaimana, perbuatan dan perkataannya justru menenangkanku. Rasa putus asaku sejenak lenyap dan saya mulai bisa menenangkan diriku untuk meminta maaf pada keluargaku. Tekadku untuk menuntaskan semua dilema ini bangun kembali. Aku kembali menangis ketika melihat kakekku menangis dan mulai menyemangatiku ketika kami menuju ke kediaman Miss Akagi. Aku merasa sangat menyedihkan ketika itu.


         Ketika kami tiba di kuil dimana Miss Akagi tinggal, saya merasa menyerupai beban di pundakku terangkat. Tak ada yang terjadi yang membuatku merasa menyerupai itu, namun saya berasumsi bahwa semuanya akan baik-baik saja begitu kami tiba di sini. Ketika kami berjalan menuju gerbang kuil, kami disambut oleh seorang lelaki separuh baya. Aku menerima kesan bahwa kediaman Miss Akagi sering mendapatkan pengunjung dan kakekku tampaknya salah satu dari mereka.


         Kami diantar menuju ke belakang rumah dan masuk lewat sana. Kami diantar ke sebuah altar Buddha berukuran besar dimana Miss Akagi sedang berdoa. Ia berlutut dengan bantal menyangga kakinya di depan altar. Dia memalingkan wajahnya dengan perlahan ke arah kami dan menunggu seseorang untuk menyampaikan sesuatu.


"Tomohiko, tak apa. Miss Akagi akan merawatmu." Nenekku mendorongku ke arah Miss Akagi.


"Sudah cukup lama, bukan? Kau sudah tumbuh sangat besar semenjak terakhir kali kita berjumpa. Kau terlihat sangat tampan, Nak. Waktu benar-benar berlalu sangat cepat." Ia tersenyum dengan ramah.


"Anda bisa merawat dia, bukan?" tanya nenekku, "Ia akan baik-baik saja?"


"Tentu saja dia akan baik-baik saja," kakekku berkata pada nenek, "Kita gres saja tiba di sini. Berilah waktu bagi Miss Akagi, dia belum tahu apa yang terjadi padanya."


"Sayang, diamlah." balas nenekku, "Aku tak bisa berhenti khawatir pada Tomohiko, kamu tahu itu."


         Aku tak mengerti mengapa, namun hanya dengan berdiri di depan Miss Akagi membuatku merasa aman. Aku merasa semua energi negatif yang ada dalam diriku seakan terusir keluar tiap kali saya menghela napas di hadapannya. Dan orang tuaku juga nampaknya mencicipi hal yang sama, walaupun rasa lelah masih terperinci tergambar di wajah mereka.


         "Kalian berdua niscaya sudah sangat capek sehabis bekendara ke sini selama semalaman," kakekku niscaya juga menyadari raut lelah di wajah orang tuaku, "Biarkan Miss Akagi melaksanakan keahliannya. Kalian berdua beristirahatlah di ruangan sebelah."


Orang tuaku hanya mengangguk dan menuruti nasehat beliau.


"Nah," Miss Akagi memanggilku dengan lambaian tangannya, "Tomohiko, ke sinilah!"


         Aku berlutut di depannya, mencoba sebaik mungkin menggandakan posisinya. Beliau kemudian menoleh ke arah kakek dan nenekku. "Aku akan meminta kalian untuk pergi ke ruangan sebelah. Tak apa-apa bukan? Aku harus berbicara empat mata dengan cucu kalian. Jangan khawatir, saya akan menjaganya. Dan jangan kembali ke sini kecuali bila saya memanggil cucu kalian, mengerti?"


"Tolong jagalah dia." kakekku membungkuk.


         "Tomohiko, jangan khawatir!" nenekku masih berusaha memberiku semangat ketika ia berjalan meninggalkan ruangan, "Miss Akagi tahu apa yang dia lakukan. Lakukan saja semua yang dia katakan!"


Ketika mereka menutup pintu di belakang mereka, saya bisa melihat mereka berurai air mata.


         Begitu mereka tak terlihat lagi, Miss Akagi mendekat ke arahku sampai kedua lutut kami bersentuhan. Ia mengenggam tanganku dan dengan hening menatap wajahku. Untuk suatu alasan, saya merasa bahwa ia hampir menyerupai orang bau tanah bagiku. Aku merasa menyerupai kembali menjadi anak kecil dan saya tak bisa berhenti mengusir perasaan bahwa ia sedang menatapku dengan matanya yang bijaksana. Walaupun tubuhnya lebih mungil daripada aku, saya merasa sangat kecil di hadapan kekuatannya yang sangat besar.


"Apa yang harus kulakukan denganmu ..." saya tak punya jawaban atas pertanyaan itu, jadi saya hanya terdiam. Dia terus menatapku dan berkata kembali, "Tomohiko, apa kamu takut?"


" ... ya ..."


"Aku sudah menduganya ... kamu tahu, keadaan tak bisa terus-terusan menyerupai ini ... " ia menatapku dengan sungguh-sungguh.


"Apa?"


"Oh, jangan khawatirkan itu .... saya hanya bicara pada diriku sendiri."


Apa maksudnya? Jangan khawatirkan ini, jangan khawatirkan itu ... saya mulai ketakutan lagi dan saya tak sanggup lagi menahan emosiku.


         "Uh, apa yang harus saya lakukan? Saya harap anda sanggup menolong saya," begitu saya mulai mengucapkannya, kata-kata itu terus meluncur, " ... dan saya ingin tahu makhluk apakah ini? Mengapa ia melekat pada saya? Saya ingin ini segera diakhiri. Bisakah anda melakukannya?"


"Tomohiko ..."


         "Aku tak melaksanakan kesalahan apapun!" rasa iba yang terpancar di mata dia sama sekali tak membuatku hening dan keputus-asaanku kembali terbit. "Maksudku, saya memang pergi ke daerah berhantu itu, namun bukan hanya saku. Ada orang lain di sana! Mengapa hanya saya yang harus mengalami semua ini? Apa lantaran saya melaksanakan hal tolol di depan cermin itu? Apa itu sebabnya? Aku sama sekali tak mengerti! Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa???"


"Keeeeeeahhhh .... paaaaaaaaaah ..... keaaaaaaaaaaah .....yaaaaaaaaaaah ..... paaaaaaaaaaaaah ...."


Suara itu membuatku hampir melompat ketakutan. Aku tak tahu apa yang terjadi dan saya tak tahu apa yang coba dikatakannya, alasannya yaitu bunyi itu sangatlah ganjil dan aneh.


         "Keeeeeeeeeaaaaaaah .... paaaaaaaaah ... " suaranya hampir menyerupai parkit, naik dan turun dengan intonasi yang benar-benar membuatku telingaku hampir tuli. Suara itu terus-menerus terulang dan balasannya saya mengerti apa yang coba dikatakannya.


Kenapa? Kenapa? Kenapa?


         Aku menatap Miss Akagi dan melihat bahwa ekspresi ramahnya sudah menghilang dari wajah beliau. Seakan-akan jiwanya sudah keluar dari tubuhnya dan tak berada lagi di sana. Dari sudut pelupuk mataku, saya sanggup menyampaikan ada sesuatu yang berada di ruangan ini selain kami.


Ketika saya bergerak, darah kembali menetes dari leherku.


         Makhluk itu ada di sana. Ia merangkak sambil menatap wajahku. Aku tak punya bayangan apa yang sedang terjadi atau apa yang Miss Akagi sedang lakukan. Aku berada di dalam kuil, di hadapan seorang bikusini, namun entah bagaimana caranya, monster itu berada hanya beberapa jengkal jaraknya dariku.


Ia melaksanakan apa yang ia lakukan di apartemenku malam itu. Matanya sejajar dengan mataku dan kepalanya berputar menyerupai burung hantu. Ia tampak kebingungan.


"Kena-pa? Kena-pa? Kena-pa?" suarnya yang menyerupai jeritan burung liar itu seakan mengiris telingaku, terus menayakan hal yang berulang kali.


         Aku berani bertaruh inilah bunyi yang didengar Hayashi ketika ia mencoba mengusirnya. Mungkin makhluk itu tak menyampaikan hal yang sama dengannya, namun ia niscaya mendengar bunyi yang sama mengerikannya dengan ini. Tenggelam dalam ketakutan, saya serasa berhenti bernapas. Mataku melebar dan mulutku membuka. Paru-paruku seakan mengais-ais udara, namun saya tak bisa bernapas dalam-dalam. Leherku terasa dicekik.


         Ketika saya melihat gerakan tubuhnya yang patah-patah, saya menyadari tangannya bergerak mendekati wajahnya. Jari-jarinya mencoba mencabik kertas-kertas mantera yang melekat di wajahnya. Aku tahu bila kertas-kertas mantera itu terlepas, sesuatu yang sangat jelek akan terjadi. Detak jantungku makin kencang ketika saya melihat ujung rahangnya.


         Aku mencoba berteriak supaya ia menghentikannya, namun saya tak bisa bersuara sedikitpun. Napasku tersengal-sengal, bayangan perihal apa yang akan terjadi apabila ia melepas kertas-kertas manteraku itu dengan liar berkecamuk di kepalaku. Jantungku bergedup teramat kencang sehingga saya bisa mendengarnya di telingaku dan tiba-tiba ...


BANG!


         Secara harfiah, saya terlempar ke udara ketika saya mendengar bunyi itu. Aku mengira jantungku telah melompat keluar. Karena caraku duduk, saya hampir terjatuh, namun saya balasannya bisa menyeimbangkan driku dan berusaha kabur dari ruangan itu. Walaupun saya sekeras mungkin mencoba untuk berlari, namun tubuhku terjerembab dan akupun terjebak di sana. Kakiku menolak untuk bergerak. Aku terus mencoba merangkak dan menoleh untuk melihat apakah ia mengejarku. Namun kemudian ...


DUK!!!


         Kepalaku menghantam dinding, sangat keras. Rasa takutku menelan semua rasa sakitku sehingga saya tak mencicipi apapun. Yang kutahu berikutnya, darah mengalir dari pelipisku dan menetes di alis mataku. Namun yang lebih kupedulikan ketika itu yaitu segera kabur dari makhluk itu ketimbang apapun.


         Darah yang mengalir ke mataku mulai membutakanku. Aku mulai bisa bergerak dan mengulurkan tanganku, mencoba mencari pintu. Namun sekeras apapun saya mencoba, saya tetap tak bisa menemukan jalan keluar.


         "Kau tak bisa pergi sekarang!" teriak Miss Akagi. Suara itu cukup untuk menghentikanku untuk melarikan diri dari ruangan itu. Aku membeku di sana dan mencoba untuk menguasai keadaan. Akupun mencoba untuk mengikuti perintah Miss Akagi, apapun itu. Sebab mungkin itu satu-satunya jalan keluar.


         Ketika saya mengusap darah dari mataku, saya melihat bahwa orang tuaku mencoba mendobrak masuk ke ruangan. Mungkin saja perintah Miss Akagi tadi ditujukan pada kedua orang tuaku yang meninggalkan ruangan mereka dan mencoba masuk ke sini. Miss Akagi menunggu sejenak sampai saya siap mendengarkan apapun perkataannya.


         "Maaf, Tomohiko. Pasti tadi sangat menyeramkan bagimu ya? Sekarang sudah baik-baik saja. Kembalilah ke sini." dia kemudian berpaling ke arah orang tuaku yang kini berdiri di depan pintu. "Sekarang sudah tak apa-apa. Kembalilah dan biarlah saya menuntaskan ini semua."


         Aku bisa mendengar mereka berbicara di balik pintu, walaupun saya tak bisa mengira apa yang mereka katakan. Aku kembali menuju ke daerah Miss Akagi duduk dan dia mengulurkan sebuah sapu tangan untuk mengusap darah dari wajahku. Sapu tangan itu terasa harum ketika kugunakan. Aku duduk bersila kembali dan menyadari bahwa bunyi "Bang!" yang kudengar tadi bukan berasal dari iblis itu, melainkan dari Miss Akagi yang memukulkan tangannya ke tatami.


"Tomohiko, apa kamu mendengarnya? Apa kamu melihatnya?"


"Aku melihatnya." Aku menelan ludahku. "Ia menanyakan kepadaku, 'Kenapa, kenapa ... ' terus menerus."


         Wajah Miss Akagi menjadi teduh. Aku terus mencoba untuk tetap hening di depan Miss Akagi, meskipun saya gres saja mengalami pertemuan yang mengerikan dengan makhluk itu. Kini saya harus melaksanakan apapun yang harus kulakukan untuk mempermudah mengusir iblis itu dari hidupku.


"Benar katamu," dia mengangguk, "Ia terus bertanya 'Mengapa?'. Mengapa menurutmu ia bertanya menyerupai itu?"


"Uh ... saya tak tahu. Apa seharusnya saya tahu?" saya tak mempunyai inspirasi sama sekali.


"Tomohiko, apa kamu takut?"


"Ya, saya masih takut sekarang." saya mengalihkan wajahku dari dia lantaran merasa malu.


"Kenapa?"


         "Well ... semua ini sangatlah absurd bagiku. Hantu dan semuanya, maksud saya ..." saya tak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Aku merasa Miss Akagi mencoba membuatku mengerti sesuatu, namun saya hanya tak memahaminya.


"Apa dia melaksanakan sesuatu kepadamu?"


         "Yah, kurasa ..." saya dulu yakin dia mencoba menyakitiku, namun kini saya tak yakin. Kepalaku yang berdarah juga bukan lantaran perbuatan hantu itu. Itu lantaran kecerobohanku akhir kepanikanku sendiri. "Leherku berdarah dan tampaknya tadi ia mencoba melepas jimat dari wajahnya."


"Ya, saya ingat. Aku juga melihatnya. Tapi apa ada sesuatu yang lain terjadi?"


Aku sama sekali tak bisa menjawabnya. Aku tak yakin harus menjawab apa.


"Aku tahu Nak, situasi ini amat berat untuk dijalani ..."


"Maaf, saya benar-benar tidak tahu ..."


"Tak apa-apa." dia mulai menjelaskan supaya segalanya terdengar masuk nalar bagiku. Mungkin menyampaikan bahwa dia sedang "menguliahiku" yaitu istilah yang tepat.


         Pertama dan yang paling penting, makhluk yang gres saja menampakkan diri tadi yaitu semacam roh atau lebih tepatnya monster. Aku bertanya apa ia jahat, namun dia tampaknya tidak mempunyai jawaban yang terperinci atas pertanyaan itu. Beliau menerima kesan yang terperinci bahwa makhluk itu semacam roh yang "gelap", namun dia tak mencicipi hal-hal yang "kejam" dari makhluk itu.


         "Bahkan bila suatu roh tidak bermaksud jahat, hal-hal menyerupai ini bisa terjadi bila mereka terlalu kuat." Beliau menjawab, "Wanita itu ... roh itu ... sudah sendirian semenjak waktu yang sangat lama. Ia melewati waktu bertahun-tahun, ingin supaya seseorang berbicara dengannya, menyentuhnya, melihatnya, atau hanya sekedar menyadarinya. Roh itu melihatnya dalam dirimu dan ketika kamu memperhatikannya, ia menjadi sangat senang. Nah sekarang, jangan salah paham akan apa yang akan kukatakan, namun dibandingkan perempuan itu, kamu lebih lemah. Karena itulah kamu merasa takut dan lantaran itu pulalah tubuhmu bereaksi sangat berpengaruh bila ia hadir." Cara dia berbicara sangatlah hening dan perlahan, seakan ia berbicara dengan seorang anak kecil.


         Aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku dulu berpikir roh itu jahat, namun kini sehabis mendengar klarifikasi Miss Akagi ... ah, saya tak tahu apakah yang dikatakan Miss Akagi itu benar ataukah ia hanya mencoba membuatku tak merasa takut lagi.


         "Nah, kini mari kita lakukan sesuatu untukmu. Ini akan memakan waktu, namun yakinlah ... saya niscaya menolongmu!" kata-kata itu membuatku merasa lebih baik. Aku mencicipi kelegaan ketika saya mendengar ada impian untuk lepas dari ini semua. Aku akan menulis di sini apa yang dia katakan kepadaku. Aku takkan melupakan kata-kata ini.


         "Jika sesuatu terlalu menyeramkan untuk dilihat, atau kamu tak mengerti apa itu, ingatlah bahwa ia mencicipi rasa sakit, sama menyerupai yang bisa kamu rasakan. Raihlah dan cobalah tolong dia. Mungkin itulah yang ia tunggu-tunggu selama ini."


         Miss Akagi mulai membaca kitab suci. Tak menyerupai apa yang kuduga, ternyata dia tidak sedang mengusir roh itu, melainkan untuk membuatnya tenang.


         Malam itu, kepalaku teramat sakit dan leherku terasa menyerupai terbakar, namun saya tertidur sangat nyenyak. Miss Akagi membiarkanku menginap di sana lantaran yah, berdasarkan dia saya masih bertingkah sangat aneh.


========= Bersambung =========


Semoga Tomohiko akan membaik. Dan jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur.


  
  

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel